Proses menuju proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus punya kisah
seru. Inilah saat genting dan menentukan dalam sejarah. Ya, karena
peristiwa yang terjadi bakal menentukan, apakah negara kita merdeka
karena hadiah atau perjuangan? Untung, kesigapan para tokoh muda membaca
situasi akhirnya menorehkan kisah manis.
Mungkin ada kritikus mengklaim Indonesia bisa merdeka karena
memanfaatkan situasi, tapi toh tetap dengan perjuangan dan kematangan
prediksi. Dan, kita bisa bangga di mata dunia, bahwa negara ini merdeka
dengan berdiri di atas kaki sendiri.
Untuk mengingat kembali jalan menuju merdeka, kita lihat lagi kronologisnya berikut ini.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota
Hiroshima, Jepang (dan disusul bom berikutnya di atas Nagasaki tanggal 9
Agustus) oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat
tentara Jepang di seluruh dunia.
Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
BPUPKI, atau Dokuritsu Junbi Cosakai, berganti nama menjadi PPKI (
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu
Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan
tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai
mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km disebelah timur laut
Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa
pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia.
Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir
telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada
Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan
kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai
hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat,
Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia
dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari,
tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan
Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan
karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang,
karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi
menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro
Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di
Dalat.
Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi
kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar,
dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.
Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan
kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan
buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan
'hadiah' dari Jepang.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Sutan
Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui
radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut,
golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru.
Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat
proklamasi. Konsultasi akan dilakukan dalam bentuk rapat PPKI.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk
memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi
kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian
ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara
(Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka
dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab
ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.
Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16
Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi
Kemerdekaan.
Rapat gagal, terlanjur diungsikan.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh
sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi "penculikan" itu sangat
mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi
(1984:60).
Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau
mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya
itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang
panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti
kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan.
Pendapat berbeda menurut kesaksian Hatta, yang terjadi sesungguhnya
bukanlah penculikan. Para pemuda mengungsikan Soekarno dan Hatta ke
Rengasdengklok karena, menurut keterangan Soekarni, tokoh pemuda, pada
tengah harinya 15.000 rakyat bersama mahasiswa dan anggota Peta akan
menyerbu kota, lalu melucuti tentara Jepang. Langkah itu terpaksa
ditempuh karena Soekarno-Hatta tidak mau memproklamasikan kemerdekaan
pada hari itu juga.
Ibu Fat dan Guntur, anak sulung Bung Karno, ikut dalam rombongan. Di
Rengasdengklok, mereka ditempatkan di dalam asrama Peta, lalu
dipindahkan ke sebuah rumah milik tuan tanah Tionghoa. Tunggu punya
tunggu, hingga tengah hari tidak terdengar kabar apa-apa soal gerakan
rakyat dan Peta di Jakarta.
Malah ada cerita lucu soal para pemuda di tempat “penculikan” itu.
Ternyata mereka yang menjaga rumah “tahanan” Soekarno-Hatta sama sekali
tak mengenal siapa Soekarni. Begini kesaksian Hatta, “Kira-kira pukul
12.30, aku minta tolong kepada pemuda yang menjaga di muka pintu halaman
supaya Soekarni diminta datang. ‘Siapa itu, Tuan?’ katanya. Kuterangkan
bahwa yang kami maksud ialah seorang dari pemuda yang mengantar kami ke
rumah itu…. Pemuda itu pergi dan kami tertawa saja melihat ia pergi,
sebab sebagai ‘pengawal yang bertugas’ ia tidak boleh meninggalkan
tempatnya.”
Tidak lama kemudian, Soekarni datang. “Aku bertanya kepada dia, apakah
revolusi yang akan bermula pukul 12.00 tengah hari sudah bermula? Apakah
15.000 rakyat yang akan menyerbu kedudukan Jepang bersama-sama
mahasiswa dengan Peta sudah masuk kota? Soekarni mengatakan, ia belum
mendapat kabar.”
Sekitar satu jam kemudian, Soekarni datang dan mengatakan belum juga
mendapat kabar dari Jakarta. Ia pun tidak memperoleh kontak dengan
Jakarta. Hatta lalu menyindir, “Kalau begitu, revolusimu sudah gagal.
Buat apa kami beristirahat di sini apabila di Jakarta tidak terjadi
apa-apa?” Soekarni rupanya belum yakin bahwa revolusi yang direncanakan
itu gagal. Ia segera berlalu sebelum Hatta menanyakan apa yang ada dalam
pikirannya pada saat itu.
Kabar pasti tentang situasi di Jakarta baru diperoleh setelah kedatangan
Mr. Subardjo menjelang magrib, sekitar pukul 18.00. “Ia disuruh
Gunseikan untuk mengambil kami semua, membawa kembali ke Jakarta….
Subardjo mengatakan bahwa di Jakarta biasa saja, tidak ada terjadi
apa-apa.”
Mr. Subardjo sempat melontarkan protes. Bung Hatta menulis, “Buat apa
pemimpin-pemimpin kita berada di sini, sedangkan banyak hal yang harus
dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta. Atas pertanyaanku, apakah
Panitia Persiapan Kemerdekaan jadi berapat tadi pagi, Mr. Subardjo
menjawab, ‘Apa yang akan dikerjakan mereka? Saudara-saudara yang
mengundang mereka rapat tidak ada, berada di sini?’.”
Tentu saja rapat yang sebelumnya dijadwalkan tanggal 16 Agustus gagal
karena dua tokoh utama Soekarno-Hatta terlanjur dibawa ke
Rengasdengklok.
17 Agustus dan mistik
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para
pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi
Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya
tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup
besar.
Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan
penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat
mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti
yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi,
Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang
teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri.
Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas.
"Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu ...".
"Lalu apa ?" teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan
kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang
bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara
rendah ia mulai berbicara, "Yang paling penting di dalam peperangan dan
revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan
seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17".
"Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?" tanya Sukarni.
"Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan
dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan
kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah
saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang
berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini
berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat,
hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci.
Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh
karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia".
Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di
Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Kembali ke Jakarta
Singkat cerita, setelah begadang merumuskan naskah proklamasi, pukul
05.00 pagi, Jumat, 17 Agustus 1945 rombongan dari Rengasdengklok
kembali ke Jakarta.
Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa
Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para
pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk
memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia
(Hatta, 1970:53).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan
Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan
kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan
seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro
memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera.
Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah
Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak
digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang
rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa
langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan
oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran
bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna.
Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan
Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati
oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa
orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak
Jepang.
Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu
Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan
baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan
telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai
tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan
keras agar Proklamasi segera dilakukan.
Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera
membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks
Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara
dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung
menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung
Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga
mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Marwati Djoened Poesponegoro (1984:92-94) melukiskan upacara pembacaan
teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa
protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera
memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak
pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna.
Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju
beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas,
Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks
proklamasi.
Sumber: